Monday, June 02, 2008

SLAMET RISTANTO

Waktu Aku di Hotel Horison, Kota Bekasi, Jawa Barat, menghadiri pelantikan temanku yang terpilih menjadi Walikota, ada yang menelponku, begitu Hpku Aku tekan tombol terima, tidak terdengar suara sama sekali. Aku berpikir mungkin orang ini salah menekan nomor telpon. Waktu pesawat Sriwijaya yang Aku tumpangi mulai bergerak akan berangkat dari Makassar menuju Gorontalo tiba-tiba HPku berbunyi ada panggilan masuk, kuangkat dan terdengar modulasi suara yang Aku kenal yang tidak pernah Aku dengarkan lagi dalam kurun waktu yang lama 18 tahun yang lalu. Aku tersentak dan seakan tak percaya, adrenalinku naik, Aku senang dan bersemangat berbicara dengannya di HP. Karena pesawat akan segera berangkat maka pembicaraan kami terputus. Aku harus mematikan HP.

Dialah temanku, Slamet Ristanto, yang selama ini Aku ingin tahu khabar tentang dirinya bagaimana? Terakhir sekali yang Aku dengar khabarnya dia bekerja di BRI cabang Cempaka. Putih. Pertemuan kami yang terakhir adalah pada saat sama-sama mengikuti seleksi di Bank BRI pusat Jakarta pada tahun 1990. Pada saat seleksi di BRI tersebut, tahap demi tahap seleksi yang kami ikuti lulus. Pada saat wawancara terakhir Aku gagal. Aku masih ingat pada saat wawancara tersebut Aku diberikan kotak yang bergambar yang bisa diputar-putar. Pewawancara memberikan gambar tertentu dan kotak yang Aku pegang dimana gambarnya sudah diacak harus disesuaikan dengan gambar tersebut dan waktu yang diberikan hanya 1 menit. Gambar yang pertama, kedua dan ketiga aku berhasil. Yang keempat terakhir Aku gagal. Aku tidak tahu, tiba-tiba tanganku gemetaran, Pewawancara mengulanginya sekali lagi Aku tetap gagal. Aku berpikir mungkin Aku tidak ditakdirkan menjadi seorang Bankir. Walaupun Aku gagal Aku tetap merasa senang dan bersyukur karena temanku, Slamet lulus.

Pertama kali Aku bertemu temanku, Slamet di Jakarta adalah saat seleksi penerimaan pegawai di PT. Pertani yang diadakan di Universitas Indonesia (UI) di Salemba. Saat melihat pengumuman lulus berkas tiba-tiba dia muncul dari belakang dan mengejutkanku. Aku langsung senang karena bertemu dengan teman senasib dan seperjuangan dulu dikampus di Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) Manado. Kini kami bernasib sama lagi berjuang di kota Metropolitan Jakarta. Pengumuman terakhir kami dinyatatakan tidak lulus di PT. Pertani. Kami tidak patah semangat, lamaran kami kirimkan ke Bank-Bank. Seleksi di Bank Expor-Impor juga kami berdua dinyatakan tidak lulus.

Aku ke Jakarta pada tahun 1989, begitu Aku selesai di wisuda di Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, diajak Pamanku untuk dipekerjakan di Konsultan Pertanian. Tetapi karena terlambat datang maka diganti orang lain. Tetapi bersyukur pada saat itu juga dibuka lowongan untuk penerimaan SP3 (Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan) di seluruh Indonesia oleh Depdiknas dan Menpora. Aku diterima dan dikontrak selama 2 tahun menjadi SP3 Angkatan pertama DKI Jakarta. Aku bertugas di desa Rorotan, Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Kelompok SP3ku membuat percontohan pengembangan usaha penanaman Anggur, Ikan Lele dan ternak Itik. Pada saat masih dikontrak di SP3 inilah Aku melamar pekerjaan ke tempat lain bersama-sama temanku Slamet. Sehabis kontrak SP3, tahun 1991 Aku bergabung dengan LSM di bidang Pertanian, Yayasan Sadagori di Sukabumi, Jawa Barat yang dipimpin oleh Bapak Odjak Siagian, bertugas _+ 6 bulan di desa Bojong Lopang, alamat desanya ke arah Jalan Pelabuhan Ratu tetapi sebelumnya belok kiri. Setelah itu, tahun 1992 Aku diutus oleh LSM PDF (Participatory Depelopment Forum) yang dipimpin oleh Ibu Supardjo Rustam ke Semarang bertugas _+ 6 bulan diperbantukan ke LSM Yayasan Indonesia yang dipimpin oleh Ibu Dr. Damayanti, membantu pengembangan usaha pertanian di kaki bukit Ungaran, Bandungan. Setelah dari Semarang, tahun 1993 Aku bergabung dengan LSM Yayasan Bina Taruna Tani Indonesia yang dipimpin Ibu Tjutju Mulyani dengan pembinanya Bapak Syarifudin Bacharsyah dan bertugas lagi di Cementeng, Kecamatan Cibadak Kabupaten Sukabumi. Pada tahun 2004, Ibuku sakit dan Aku diminta kembali pulang ke Gorontalo. Itulah sepenggal episode tentang diriku setelah Aku berpisah dengan temanku Slamet.

Kembali lagi ketemanku Slamet, Orangnya kalem, pemalu, perasa, penyabar, lebih banyak menjadi pendengar dari pada berbicara, dia lebih senang otaknya yang aktif berbicara dan low profile. Sifatnya ini tidak beda jauh dengan Aku. Tetapi prestasi belajarnya tinggi dan dalam hal ini Aku tidak dapat melebihinya. Pada saat kuliah dulu kami berdua hanya mengandalkan semangat juang 45 untuk mengubah nasib lewat pendidikan oleh karena itu dalam mengikuti kuliah kami fokus hanya belajar, belajar dan belajar tidak ada yang lain dalam pikiran kami dibandingkan dengan teman-teman yang lain yang lebih santai. Kami tidak didukung finansial yang memadai. Slamet dibiayai kakaknya yang sopir sedangkan Aku dibiayai Ayahku seorang PNS golongan II sehingga untuk neko-neko, berpikir yang macam-macam tidak ada dalam kamus kami berdua. Ruang gerak kami dibatasi financial yang kurang mendukung.

Temanku Slamet ini lebih dulu ke Jakarta yaitu pada tahun 1988, Slamet diwisuda tahun 1988 bulan September sedangkan Aku bulan Pebruari tahun 1989. Tiba di Jakarta dia bekerja di Koperasi. Kemudian dia diajak tantenya bekerja di Konsultan Pertanian di Yogyakarta. Habis kontrak dengan konsultan dia kembali lagi ke Jakarta. Mengisi waktu lowongnya dia bergabung dengan PMI Jakarta tugasnya mengantar jenazah di mobil Ambulance. Pada saat di PMI inilah dia bertemu dengan Aku. Sepulang Aku dari lokasi SP3 di Cilincing Jakarta Utara. Aku sering mampir main ke tempat kostnya. Disamping di PMI ini Slamet juga pernah main film layar lebar tetapi hanya sebatas pemain figuran. Pada saat di PMI inilah Slamet juga mulai menyalurkan bakatnya menulis. Tulisannya sering muncul dimuat dalam suatu Tabloid Ibukota Jakarta. Pada saat bertemu di Makassar, Aku tanyakan tentang tulisan-tulisannya tersebut tetapi jawabnya tidak ada yang diarsip sehingga sangat disayangkan tulisannya hilang tak berbekas.

Sampai dengan sekarang bakatnya ini tidak ditinggalkannya, dikembangkannya terus. Waktu di Makassar Aku diberikannya dua buku hasil karyanya. Aku sangat senang dan terus mendorongnya untuk terus menulis. Sekarang sudah 7 buku hasil karyanya yang dilaunching ke publik. Waktu Aku di Jakarta, mampir ke Mall Tomang di toko buku Gramedia, Aku melihat salah satu buku hasil karyanya terpampang dalam rak buku. Wah ... Slamet jadi salah satu penulis terkenal sekarang di Indonesia. Aku bangga punya teman seperti dia. Buku yang diberikannya kepadaku, sering Aku pamerkan keteman-temanku dan dengan bangga Aku katakan penulisnya adalah teman seperjuanganku waktu di Manado dan di Jakarta. Aku berdoa semoga disuatu saat nanti ada suatu tulisannya yang meledak seperti buku ayat-ayat cinta sehingga dia akan menjadi seorang Milyader. Amin... Di Harian Tribun Makassar dia menjadi penulis kolomnis sehingga dia sangat dikenal di Makassar.

Kalau orang bertanya, Sep kau asalnya dari mana? Aku menjawabnya enteng ”Indo”. Penanya terperangah. Aku lanjutkan maksudku, Ayahku berasal dari Flores (NTT) ibuku berasal dari Gorontalo. Temanku Slametpun demikian Ayahnya berasal dari Medan, Ibunya berasal dari Yogyakarta. Pulang dari Bali, waktu transit di Makassar Aku dijemputnya bersama isterinya. Wah ... Isterinya Slamet cantik dan keibuan, pasangan yang serasi pikirku. Aku diajak putar-putar Kota Makassar dan diajak makan disalah satu rumah makan. Kami bercerita pengalaman kami masing-masing setelah 18 tahun berpisah. Sayang bagiku tidak sempat bertemu 3 orang anaknya yang pintar-pintar, cantik dan ganteng seperti ibu, bapaknya. Walaupun Slamet berlatar belakang pendidikan sosial ekonomi, dalam berteman prinsip ekonominya dia tidak terapkan. Dia cenderung menggunakan ilmu sosial. Juga Ilmu matematika pengurangan dan pembagian yang dipraktekannya dalam bermasyarakat dari pada penjumlahan dan perkalian Bayangkan, tak kuduga sebelumnya dia sudah tiba lebih dulu di Hotel Bidakara Jakarta tempatku menginap sebelum Aku tiba di Hotel tersebut hanya karena ingin bertemu denganku. Hanya karena ingin bertemu teman kami di Departemen Pertanian Jakarta, Ayu.. menyebabkan Slamet terlambat ke Bandara ditinggalkan pesawat ke Makassar. Sehingga naik pesawat berikutnya harus ke Surabaya dulu baru ke Makassar. Pengorbanan demi persahabatan. Dalam ilmu religi, Slamet dan isterinya sudah menunaikan ibadah Haji yang bagiku masih berupa cita-cita. Pikirku, Aku sudah ketinggalan jauh dari temanku ini dalam berbagai hal. Tetapi Aku sangat senang dan berbahagia serta bersyukur karena dia adalah temanku yang harus Aku dukung terus keberhasilannya.

Kalau mau obyektif sebenarnya Slamet ini pantas untuk terus dipromosi menjadi direktur Bank BRI. Tulisan-tulisannya sangat bagus dan orisinil, kritis untuk memajukan perbankan di Indonesia. Tetapi sayang kondisi di Indonesia saat ini belum berpihak kepada profesionalisme untuk membangun masa depan yang gemilang. Orang yang berkualitas dan kritis malah tidak diberikan kesempatan untuk maju. Tidak mengherankan mindset negara terbelakang biasanya selalu demikian, sehingga tidak maju-maju selalu berada diekor dari negara-negara yang lain. Semoga dimasa yang akan datang kondisi di Indonesia ini berubah. Mementingkan profesionalisme, menghargai SDM yang unggul. Dan mungkin pada saat itu temanku Haji Slamet akan menjadi Direktur Bank BRI Indonesia, semoga. Dari Gorontalo Aku berdoa, kabulkan yaa... Allah. Amin.....